A.
Riwayat
Hidup Al-Kindi
Nama Al-Kindi merupakan nisbat yang menjadi asal cikal bakal
Banu Kindah. Banu Kindah merupakan
suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab
yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan dikagumi
banyak orang.
Nama Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq Ash-Shabbah
bin ‘Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia dilahirkan pada
tahun 185 H (801 M) di Kuffah. Ayah Al-Kindi seorang gubernur pada masa
Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid yang bernama Ishaq Ash-Shabbah.
[1]
Al-Kindi merupakan keturunan bangsawan Arab dari kerajaan
Kinda (Yaman). Pada masa kecilnya, ia menuntut ilmu di Bashrah. Kemudian, ia
tumbuh dan dibesarkan di Baghdad sampai akhir hayatnya.
Saat Al-Kindi berusia sembilan tahun, kholifah
Harun Al-Rasyid mendirikan, Bait Al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan). Namun,
pada tahun 193 H, khalifah Harun Al-Rasyid wafat dan digantikan oleh putranya
yang bernama Al-Amien. Setelah Al-Amien meninggal dunia, masa pemerintahan
digantikan oleh saudaranya, Al-Makmun. Dan pada masa inilah, ilmu pengetahuan
berkembang pesat melalui penerjemahan kitab-kitab Yunani dan menghubungkannya
dengan ilmu keislaman. Dan pada masa inilah, Al-Kindi memperoleh kepercayaan
untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
B. Karya-karya Al-Kindi
Sebagai
seorang filsuf Islam, Al-Kindi tidak hanya menulis satu karya melainkan lebih
dari 230 buah. Diantaranya:
1.
Kitab
Al-KIndi ila Al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al Ula
2.
Risalah
fi Hudud al-Assya’ wa Rusumiha
3.
Kitab
fi Ma’iyyah al-‘illm wa Aqsamihi
4.
Risalah
fi Annahu Jawahir la Ajsam
5.
Kitab
fi ibarah al-jawami’ al-Fikriyah
C. Pandangan Al-Kindi Terhadap Filsafat
Al-Kindi meninjau filsafat dari dua
sisi, yaitu luar dan dalam. Dengan tinjauan dari dalam, Al-Kindi bermaksud
mengikuti filosof-filosof besar tentang pengertian filsafat seperti Aristoteles
dan Plato. Sedangkan dari segi luar, Al-Kindi bermaksud mendefinisikan sendiri
pengertian filsafat. Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang kebenaran
atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya.
Berdasarkan definisi ini, Al-Kindi menambahkannya
nilai keutamaan. “Filsuf adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan
hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya, yaitu orang yang hidup
menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil” [2]
D. Arah Filasafah Al-Kindi
Filsafat merupakan pengetahuan tentang
kebenaran. Maka, wajar jika Al-Kindi menyeru kepada kaum muslim untuk menerima
filsafat sebagian dari kebudayaan Islam. Maka, berdasarkan hal ini, sejarawan
arab menyebutnya “Filsuf Arab”. Memang, gagasan-gagasan yang dimiliki Al-Kindi diperoleh
dari Aristotelianisme Neo-Platonis, namun ia meletakkan gagasan-gagasannya
dalam bentuk baru. Yang mana, Al-Kindi menempatkan tulisan-tulisannya menjadi
bukti bahwa filsafat sebagai suatu studi menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu.
Maka, tak mengherankan apabila Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd mulanya menjadi
ilmuwan kemudian menjdi filsuf.
Batasan filsafat, dalam risalah
Al-Kindi tentang filsafat awal, menyebutkan, “Filsafat adalah pengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Hal ini
karena tujuan para filsuf dalam berteori ialah mencapai kebenaran dan tujuannya
dalam berpraktik ialah menyesuaikan dengan kebenaran”
Ruang lingkup filsafat dalam pandangan
Al-Kindi, sebagaimana dikutip dari Rosenthal, terbagi menjadi dua bagian utama,
yaitu studi-studi teoritis dan studi-studi praktis. Studi-studi teoritis yakni
fisika, matematika, dan metafisika; dan studi-studi praktis, yaitu etika,
ekonomi, dan politik. Al-Kindi mengklasifikasikannya sebagai berikut, ‘Teori
dan praktik merupakan awal kebajikan. Masing-masing dibagi menjadi fisika,
matematika, dan teologi. Praktik dibagio menjadi bimbingan diri, keluarga, dan
masyarakat.[3]
Al-Kindi mengarahkan filsafat muslim ke
arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat berlandaskan akal pikiran,
sedangkan agama berdasarkan wahyu. Kesimpulannya, Al-Kindi adalah filsuf
pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia memeberi
jalan luas kepada Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Ia ,memberikan dua pandangan
berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan memfilsafatkan agama. Kedua,
memandang agama sebagai sebuah ilmu ilahiah dan menempatkannya di atas
filsafat. Ilmu ilahiah ini diketahui lewat jalur para nabi. Akan tetapi,
melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat.
E. Filsafah Al-Kindi
Sebagai seorang filosofis, Al-Kindi
berhasil memadukan filsafat Yunani dan filsafat keislaman. Sehingga sampai saat
ini, ratusan karyanya menjadi literature bagi dunia kefilsafatan. Diantaranya:
1.
Falsafah
Ketuhanan
Sebagaimana halnya dengan filsuf-filsuf
Yunani dan filsuf-filsuf Islam lainnya, Al-Kindi merupakan ahli ilmu
pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a)
Pengetahuan
Ilahi
Yaitu
pengetahuan yang langsung diperoleh nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini
adalah keyakinan.
b)
Pengetahuan
Manusiawi atau falsafat
Dasarnya
ialah pemikiran
Menurut
Al-Kindi, filsafat ialah pengetahuan untuk mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah. Maka, disinilah letak persamaan falsafah dengan agama. Tujuan agama
adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Begitu pula dengan
filsafat. Agama (di samping wahyu), selain menggunakan akal dan falsafah, juga
menggunakan akal. Maka, menurut Al-Kindi yang Benar Pertama atau the First
Truth ialah Tuhan. Menurutnya, Tuhan adalah wujud yang benar. Ia selalu ada dan
akan selalu ada. Jadi Tuhan, adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului
wujud yang lain.
Al-Kindi mengemukakan tiga jalan untuk membuktikan adanya
Tuhan, yaitu:
I.
Tidak
mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, jadi wajib ada yang
menciptakannya dari ketiadaan dan pencipta itulah Tuhan.
II.
Dalam
alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau keseragaman tanpa
keragaman. Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama, bukanlah karena
kebetulan, tetapi sesuatu sebab. Sebab pertama itulah Tuhan.
III.
Kerapian
alam tak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikan (mengaturkan)nya. Yang
merapikan atau yang mengaturkan alam nyata itulah Tuhan.
Di samping itu, Al-Kindi juga membuktikan wujud Tuhan dengan
menggunakan tiga jalan:
I.
Barunya
alam, ala mini baru dan ada permulaan waktunya, karena ala mini terbatas, oleh
karena itu yang menyebabkan ala mini tercinta, dan tidak mungkin ada suatu
benda yang ada dengan sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya dari
tiada.
II.
Keanekaragaman
dalam wujud (katsrah fit mawjudat). Keanekaragaman disini adalah ada yang
menyebabkan, atau ada sebab. Sebab itu bukanlah alam itu sendiri tetapi sebab
yang berada di luar alam atau lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu
keberadaannya karena sebab harus ada sebelum akibat (ma’lulu; effect)
III.
Kerapian
alam, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali adanya zat yang
tidak tampak. Dan zat yang tidak tampak itulah, hanya dapat diketahui melalui
bekasNya.[4]
2.
Falsafah
Jiwa
Menurut Al-Kindi, hubungan roh dengan Tuhan sama halnya
hubungan cahaya dan matahari. Roh berbeda dengan badan. Argument yang digunakan
Al-Kindi tentang perbedaan roh dan badan ialah keadaan badan yang mempunyai hawa
nafsu dan sifat pemarah. Hanya dengan rohlah, manusia bisa memperoleh ilmu
pengetahuan yang sebenarnya. Sebab, ada dua macam pengetahuan, yaitu
pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan pancaindera hanya
mengenai yang lahir-lahir saja. Sedangkan pengetahuan akal, merupakan hakikat
dan hanya bisa diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat, ia harus melepaskan
dirinya dari sifat kebinatangan.
Caranya ialah dengan meninggalkan sesuatu yang bersifat
duniawi. Dengan kata lain, ia harus bersifat zahid. Apabila roh meninggalkan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keinginan badan, bersih dari segala
kematerian, dan senatiasa berpikir tentang hakikat-haklikat wujud, maka ia
menjadi suci dan dapat menangkap segala hakikat atau kebenaran, layaknya cermin
yang dapat menangkap gambaran benda yang ada di depannya.
Pengetahuan dalam hal ini merupakan emanasi. Sebab, roh
adalah cahaya dari Tuhan maka ia dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada Tuhan.
Akan tetapi, apabila roh kotor, sebagaimana halnya dengan cermin yang kotor,
maka ia tidak bisa menangkap gambaran-gambaran yang dipancarkan oleh Tuhan.
Roh bersifat kekal. Dan tidak akan hancur meskipun badan
hancur. Sebab roh berasal dari substansi Tuhan. Selama ada di dalam badan, roh
tidak memperoleh kesenangan yang sempurna dan pengetahuan yang sebenarnya.
Barulah, ketika ia berpisah dengan badan (meninggal dunia), ia akan kembali
kepada Tuhan, dekat denganNya, dan memperoleh pengetahuan yang sesungguhnya.
Dan disinilah letak kesenangan abadi dari roh.
3.
Filsafat
Pengetahuan
Manusia
memiliki 3 macam pengetahuan, yaitu:
a.
Pengetahuan
Indrawi
Pengetahuan
ini tejadi ketika orang mengamati suatru objek material dan dalam proses tanpa
tenggang waktu dan kemudian berpindah ke imajinasi dan ditampung ke sebuah tempat
yang disebut Hafizah. Pengetahuan ini selalu berubah.
b.
Pengetahuan
Rasional
Pengetahuan yang diperoleh dengan mempergunakan akal yang
bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Objek pengetahuan
ini bukanlah individu, melainkan genus dan species.
c.
Pengetahuan
Israqi
Pengetahuan
yang diperoleh langsung dari pancaran cahaya Ilahi. Pengetahuan seperti ini
diperoleh oleh para nabi tanpa bersusah payah sebab pengetahuan ini terjadi
atas kehendak Tuhan.
F. Pandangan Tentang Etika
Etika berhubungan erat dengan definisi filsafat atau cita
filsafat yaitu agar manusi memiliki keutamaan yang sempurna, dan juga sebagai
latihan untuk mati. Dalam arti, kita membunuh hawa nafsu.
Keutamaan-keutamaan itu merupakan asas dalam jiwa, yaitu
pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal) tidak dalam arti yang negative. Hal
ini dibagi menjadi tiga:
i.
Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya berpikir, bersifat teoritik yaitu mengetahui
segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu
menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan.
ii.
Keberanian
(nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadhabiyah; passiote), yang merupakan
sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk
mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
iii.
Kesucian (‘iffah) adalah memperoleh sesuatu yang
memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri
yang tidak diperlukan untuk itu.[5]